Respons Islam Jawa terhadap Feminisme

I.            PENDAHULUAN
Sejak zaman purba, sebagian besar masyarakat menganggap wanita sebagai makhluk aneh, warga negara kelas dua, aseksual, sekaligus sumber maksiat. Surga, misalnya, digambarkan sebagai tempat yag selain dialiri air susu, juga dipenuhi para bidadari, suatu tempat yang sangat nyaman utuk kaum pria, tanpa ada penjelasan bagaiman ruh sufi wanita akan menikmati surga itu. Atau barangkali, semua wanita akan berubah jadi pria setelah mereka mati?[1]
Wanita dalam konteks budaya Jawa sering disebut sebagai kanca wingking (teman di dapur) oleh suaminya yang nasibnya sepenuhnya tergantung pada suaminya. Swarga nunut, neraka katut (ke surge ikut, ke neraka pun terbawa) kata salah satu pepatah Jawa. Namun kenyataan membuktikan bahwa melalui posisinya sebagai sosok yang selalu tidak dibuat berdaya itu , wanita Jawa justru telah membuat sejarah, baik diera Majapahit, Mataram, maupun dimasa Orde Baru dan Orde Reformasi ini. Tokoh-tokoh wanita dalam pewayangan, seperti Srikandi, Larasati, dan Sumbrada (yang semuanya adalah istri dari Arjuna) merupakan salah satu bukti bahwa orang Jawa mempunyai critanya sendiri tentang psikologi wanita yang lemah lembut dan sekaligus bisa berperang tanding. Kedua sifat itu sering kali membuat Arjuna panik, kebingungan, dan salah tingkah.[2]

                            II.            RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan kami bahas dalam makalah kami adalah:
A.    Apa pengertian feminism itu?
B.     Bagaimana respon Islam terhadap feminisme?
C.     Bagaimana wanita dalam perspektif Jawa?
D.    Bagaiman respon Islam-Jawa terhadap feminisme?
                         III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Feminisme
Feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menuntut persamaan hak dan perlakuan yang sederajat dengan kaum laki-laki; gerakan emansipasi wanita.[3]
Feminisme sebagai sebuah gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, sehingga perlu adanya usaha (gerakan) untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi kaum perempuan. Meskipun terjadi perbedaan pandangan antar feminis mengenai apa, mengapa dan bagaimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat dan kebebasan untuk mengontrol badan dan kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah. Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan di hadapan kaum laki-laki saja karena mereka juga sadar bahwa laki-laki (terutama kaum proletar) juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil.
Gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakekat feminisme adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak selalu memperjuangkan soal perempuan belaka. Dengan demikian strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme tidak sekadar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti: eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereotipe, kekerasan dan penjinakan belaka, melainkan perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan stuktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Feminisme Kartini sendiri adalah sebuah sintesis dari patriarki dan feminisme Barat, yang kemudian diperkenalkan di Indonesia sebagai sebuah bentuk oposisi terhadap budaya dan otoritas politik (sebelum ada negara ketika itu) yang melakukan penindasan secara sistematis kepada kaum perempuan. Feminisme Kartini penekanannya ada pada budaya "breakthrough" yang diperjuangkan beliau pada sebuah era di mana budaya patriarki dilegalkan baik oleh budaya (Jawa), maupun otoritas politik (pemerintahan Hindia Belanda). Ia bergerak secara komunal, diawali oleh kapasitas individu, bukan karena sifatnya yang feodal, tetapi karena perlunya pemahaman kolektif untuk mendobrak sebuah rezim yang diskriminatif.[4]
B.     Respons Islam Terhadap Feminisme
Dalam masyarakat Islam, perempuan menempati kedudukan penting yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Tidak ada undang-undang atau aturan manusia sebelum Islam yang memberikan hak-hak kepada perempuan, seperti yang diberikan Islam. Hal itu disebabkan Islam datang membawa prinsip prinsippersamaan diantara seluruh manusia. Tidak ada perbedaan antara satu individu dengan individu lain.[5]
Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk memahami realitas kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah sebagai Rahmatan Lil-’alamin. Sehingga – sebuah konsekuensi logis – bila penciptaan Allah atas makhluk-Nya – laki-laki dan perempuan – memiliki missi sebagai khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran akan tujuan menyelamatkan peradaban kemanusiaan.
Dengan demikian, wanita dalam Islam memiliki peran yang konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.
Berangkat dari posisi di atas, muslimah memiliki peran yang sangat strategis dalam mendidik ummat, memperbaiki masyarakat dan membangun peradaban, sebagaimana yang telah dilakukan oleh shahabiyah dalam mengantarkan masyarakat yang hidup di zamannya pada satu keunggulan peradaban. Mereka berperan dalam masyarakatnya dengan azzam yang tinggi untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada diri mereka, sehingga kita tidak menemukan satu sisipun dari seluruh aspek kehidupan mereka terabaikan. Mereka berperan dalam setiap waktu, ruang dan tataran kehidupan mereka.[6]
C.     Wanita Dalam Perspektif Jawa
Perempuan selain sebagai individu (manusia), juga sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Dalam konteks budaya jawa, perempuan sebagai istri memiliki tugas dan persyaratan fisik-psikis dan sosial yang amat berat.[7]
Perempuan dalam budaya Jawa diibaratkan sebagai bunga. Ia indah dipandang dan selalu memancarkan bau harum mewangi. Ia adalah ratu bertahta dengan agung didalam rumah tangganya. Serat Yadyasusila menerangkan tiga sifat wanita sebagai sifat rumah tangga yang baik, yakni merak ati, gemati, lalu luluh. Merak ati dimaknai pandai menjaga kecantikan lahir batin, pandai bertutur sapa dengan santun, pandai mengatur pakaian yang pantas, murah senyum, luwes gerak-geriknya, dan lumampah anut wirama, ‘bertindak sesuai irama’. Gemati artinya menunaikan kewajiban sebagai istri dengan sebaik-baiknya. Sebagai istri, perempuan harus sebagai perawat rumah tangga dan mengatur keuangan dengan sebaik-baiknya. Ia bertugas mendidik anak dengan naluri keibuaannya yang terasah. Sedang luluh artinya penyabar, tidak keras kepala, menerima segala masalah dengan hati lapang. Dengan kata lain, wanita harus mampu momor, momong, dan mopot.
Terkait dengan tugas keseharian, menurut Serat Darmagandul, sebagai pendamping suami, perempuan harus setia serta menjalani empat hal, yaitu, pawon, paturon, pangreksa,dan harus menghindari padudon.
Pawon artinya dapur. Wanita dituntut harus pandai memasak agar bisa menyajikan masakan-masakan yang perut suami kenyang. Suami yang istrinya tidak pandai memasak, akan suka jajanan, makan diluar rumah. Paturon artinya tempat tidur. Perempuan dituntut untuk lincah dan mengimbangi suami di ranjang. Jika hal ini gagal dilakukan seorang istri, dikhawatirkan suami yang tidak tahan, akan selingkuh atau jajan  tanpa sepengetahuan istri. Pangreksa artinya penguasaan. Perempuan dituntut untuk mampu mengelola rumah tangga dan melayani segala kebutuhan suami sebaik-baiknya. Padudon artinya pertengkaran atau cekcok. Wanita yang baik dituntut untuk memahami sifat temperamental dari suaminya. Jika suami menjadi api yang membakar, ia harus menjadi air yang memadamkan. Jika suami manjadi gas yang melaju, ia harus menjadi rem yang mengendalikan. Harmoni api dengan air serta gas dengan rem akan melanggengkan kebahagiaan keluarga.[8]
D.    Respon Islam-Jawa Terhadap Feminisme
Dalam perjalanannya, terjadi pergeseran pemahaman Islam para muslimah yang berdampak pada apresiasi mereka terhadap terhadap nilai-nilai Islam – khususnya terkait masalah kedudukan dan peran wanita – sedemikian hingga mereka meragukan keabsahan normatif nilai-nilai tersebut. Hal muncul disebabkan ‘jauhnya’ ummat ini secara umum dari Al Qur’an dan Sunnah. Disamping itu, di sisi lain pergerakan feminis dengan konsep gendernya menawarkan berbagai ‘prospek’ – lewat manuvernya secara teoritis maupun praktis – tanpa ummat ini memiliki kemampuan yang memadai untuk mengantisipasi sehingga sepintas mereka tampil menjadi problem solver berbagai permasalahan wanita yang berkembang. Pada gilirannya konsep gender – kemudian cenderung diterima bulat-bulat oleh kalangan muslimah tanpa ada penelaahan kritis tentang hakekat dan implikasinya.[9]
Kekuasaan wanita Jawa adalah kemampuan wanita Jawa untuk mempengaruhi, menentukan, bahkan mungkin mendominasi suatu keputusan. Kemampuan wanita untuk mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut bukan semata-mata pada saat keputusan itu di ambil, melainkan merupakan sebuah proses yang panjang dari proses adaptasi, pemaknaan kembali, hingga strategi diplomasi.[10]
                         IV.            KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwasanya, Feminisme adalah gerakan kaum wanita untuk menuntut persamaan hak dan perlakuan yang sederajat dengan kaum laki-laki.
Wanita dalam Islam memiliki peran yang konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.
Sebagai istri, perempuan harus sebagai perawat rumah tangga dan mengatur keuangan dengan sebaik-baiknya. Ia bertugas mendidik anak dengan naluri keibuaannya yang terasah.
                            V.            PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami presentasikan dihadapan anda sekalian, kami menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik serta saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kebaikan makalah kami selanjutnya.

    DAFTAR PUSTAKA

Dahlan,M, dkk, Kamus Induk Istilah Ilmiah, (Surabaya : Arkola,  
2003).
Fauzi, Ikhwan, Perempuan dan Kekuasaan, (Jakarta: Amzah,
2008).
Handayani, S, Cristina, dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita
Jawa,Yoyakarta: LkiS, 2008), cet. II.
Roqid,Moh, Harmoni Dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007).
Indrawan, Jerry, Feminisme Kartini,
http://m.politikana.com/baca/2011/04/21/
Wiemasen, Gender Menurut Islam, http://blog.wiemasen.com/






[1] Cristina S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa Wanita Jawa,Yoyakarta: LkiS, 2008), cet. II, hlm. Ix.
[2] Ibid.,hlm, xi.
[3] M. Dahlan, dkk, Kamus Induk Istilah Ilmiah, (Surabaya : Arkola, 2003), hlm. 207.
[4] Jerry Indrawan, Feminisme Kartini, http://m.politikana.com/baca/2011/04/21/
[5] Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 12.
[6] Wiemasen, Gender Menurut Islam, http://blog.wiemasen.com/
[7] Moh. Roqid, Harmoni Dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 70.
[8] Ibid., hlm. 71-72.
[9] Wiemasen, lop.cit.
[10] Cristina S. Handayani dan Ardhian Novianto., op.cit, hlm. 25.

Makalah ini telah dikoreksi lansung oleh DR. Sulaiman Al-Kumayyi, M.Ag
Previous
This is the oldest page
Thanks for your comment